Pakar Biologi Ungkap Kesejajaran Buddhisme dengan Biologi
Bhagavant.com,
Washington, Amerika Serikat – Sebagian besar, agama dan ilmu pengetahuan (sains) tidak bisa bersama-sama dengan sangat baik, tetapi Buddhisme adalah sebuah pengecualian yang menarik. Demikian yang disampaikan seorang profesor psikologi yang juga pakar biologi sebuah universitas di Amerika Serikat, pada akhir bulan lalu.
Washington, Amerika Serikat – Sebagian besar, agama dan ilmu pengetahuan (sains) tidak bisa bersama-sama dengan sangat baik, tetapi Buddhisme adalah sebuah pengecualian yang menarik. Demikian yang disampaikan seorang profesor psikologi yang juga pakar biologi sebuah universitas di Amerika Serikat, pada akhir bulan lalu.
Dalam sebuah wawancara perihal buku terbarunya yang diterbitkan berjudul: “Buddhist Biology: Ancient Eastern Wisdom Meets Modern Western Science,”
(Biologi Buddhis: Kebijaksanaan Timur Kuno Bertemu Sains Barat Modern),
David P. Barash, seorang profesor psikologi dari Universitas
Washington, Amerika Serikat dan juga merupakan seorang pakar biologi
evolusioner selama lebih dari empat puluh tahun, mengungkapkan
kesejajaran ajaran Buddhisme dengan ilmu biologi.
”Kebenaran yang menyedihkan adalah agama
dan sains tidak bisa bersama-sama dengan sangat baik – terutama karena
agama terus membuat berbagai ’klaim kebenaran’ yang sebenarnya tidak
benar! Tapi Buddhisme adalah sebuah pengecualian yang menarik. Dalam
buku saya, saya membahas Buddhisme sebagai filsafat dan perspektif
tentang kehidupan, tanpa abrakadabra (bualan), dan menunjukkan bagaimana
Buddhisme memiliki sejumlah konvergensi (titik temu) yang menarik
dengan biologi, khususnya ekologi, evolusi, genetika dan perkembangan,”
jelas Prof. Barash saat ditanya alasannya membuat buku terbarunya
tersebut, seperti yang dikutip Bhagavant.com dari berita di situs
Universitas Washington pada Sabtu (21/11/2013).
Menurut Prof. Barash, dalam bukunya, ia menghubungkan antara ajaran-ajaran Buddhisme seperti Anatman (Pali: anatta) dan Anitya (Pali: anicca) ke dalam sains.
”Anatman (”bukan diri”) sebagai
contoh, artinya bahwa tidak ada satu pun yang memiliki sebuah diri
internal yang berbeda dan terpisah dari dunia lainnya. Sama halnya dalam
ekologi, organisme dan lingkungan yang saling terkait erat. Juga Anitya
(”ketidakekalan”) mengacu pada fakta bahwa segala sesuatu bersifat
sementara dan akhirnya kembali ke dunia tanpa kehidupan. Anitya memiliki
kesejajaran dengan evolusi, karena bukan hanya masa waktu setiap
individu organisme di bumi bersifat sementara tetapi organisme juga
mengalami pasang surut dan mengalir sepanjang waktu,” kata Prof. Barash
yang juga mengklaim dirinya sebagai seorang Ateis Baru.
Buddhist Biology: Ancient Eastern Wisdom Meets Modern Western Science dipublikasikan Desember 2013 oleh Oxford University Press
Mengenai Hukum Karma dengan sains, Prof.
Barash seraya mengutip pernyataan Dalai Lama yang mendefinisikan karma
sebagai ”hukum sederhana dari sebab dan akibat”, menjelaskan bahwa
apapun yang kita, nenek moyang, dan keturunan kita lakukan, semuanya
memiliki konsekuensi.
”Selain itu, dalam sebuah pengertian
evolusioner yang mendalam, setiap makhluk hidup – termasuk diri kita
sendiri – merupakan hasil ’karma’ (akibat) dari apa yang nenek moyang
kita lakukan di masa lalu. Ini adalah kunci dari seleksi alam:
kelangsungan hidup yang berbeda dari gen yang bersaing, yang secara
harfiah menimbulkan – setidaknya sebagian – untuk siapa dan apakah kita
ini,” jelaskannya mengenai karma sebagai sebuah hukum sebab-akibat dalam
biologi evolusioner.
Berkaitan mengenai ajaran kelahiran
kembali dalam Buddhisme, Prof. Barash belum bisa menerimanya karena ia
menganggapnya sebagai sesuatu yang belum memenuhi standar ilmu biologi
dan ilmiah. Namun, ia mengakui bahwa para pakar biologi termasuk dirinya
memahami bahwa setiap organisme secara harfiah terdiri dari atom dan
molekul yang telah dan akan terus berdaur ulang dari “keberadaan
sebelumnya” seperti tanaman, hewan lain, debu, bebatuan, partikel
atmosfir, dll.
Menjawab pertanyaan klasik tentang arti
atau makna kehidupan, Prof. Barash menyampaikan, ”Baik Buddhisme maupun
biologi mengajarkan bahwa tidak ada makna yang melekat bagi kehidupan.
Kita hanyalah apa adanya, dan ’kita’ atau ’saya’ atau ’anda’ atau ’dia’
hanyalah penggabungan sementara materi dan energi, yang dipastikan untuk
runtuh kembali menjadi benda-benda dunia ini.”
”Oleh karena itu, jika kita ingin
membuat hidup kita berarti, kita tidak seharusnya mencari pada beberapa
tuhan di luar sana, melainkan pada perbuatan kita sendiri,” jelasnya.
Prof. Barash menyatakan bahwa dalam bab
terakhir bukunya ia telah mengembangkan apa yang ia sebut dengan
”biobuddhisme eksistensial”, penambahan filsafat eksistensialisme pada
titik temu antara biologi dan Buddhisme, yang menekankan bahwa tidak ada
sesuatu seperti ”arti kehidupan” di luar dari bagaimana kita secara
penuh kesadaran memutuskan untuk menjalani hidup.[Bhagavant, 3/12/13,
Sum]






0 komentar:
Posting Komentar