Mahāsatipaṭṭhāna Sutta
Khotbah Panjang Tentang Landasan-Landasan Perhatian
Khotbah Panjang Tentang Landasan-Landasan Perhatian
A. PEMBAHASAN
DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR ;Suatu ketika, Sang
Bhagavā sedang menetap di antara para Kuru. Di sana terdapat sebuah kota-pasar
yang disebut Kammāsadhamma.Dan di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:
‘Para bhikkhu!’ ‘Bhagavā,’ mereka menjawab, dan Sang Bhagavā berkata:
‘Ada,
para bhikkhu, satu jalan ini untuk memurnikan makhluk-makhluk, untuk mengatasi
dukacita dan kesusahan, untuk melenyapkan kesakitan dan kesedihan,untuk
memperoleh jalan benar, untuk
mencapai Nibbāna:-yaitu,
empat
landasan perhatian.’
‘Apakah
empat itu? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai
jasmani, tekun, dengan kesadaran
jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan keinginan dan belenggu dunia; ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan...;
ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran; ia berdiam merenungkan objek-pikiran sebagai
objek-pikiran, tekun, dengan
kesadaran jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan keinginan dan
belenggu dunia.’
PERENUNGAN JASMANI
1. Perhatian pada pernafasan
2. ‘Dan
bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai
jasmani? Di sini, seorang bhikkhu, setelah pergi ke hutan, atau ke bawah pohon,
atau ke tempat sunyi,duduk bersila, menegakkan tubuhnya, setelah menegakkan
perhatian di depannya.Dengan penuh perhatian, ia menarik nafas, dengan penuh
perhatian, ia mengembuskan nafas.Menarik nafas panjang, ia mengetahui bahwa ia
menarik nafas panjang,dan mengembuskan nafas panjang, ia mengetahui bahwa ia
mengembuskan nafas panjang. Menarik nafas pendek, ia mengetahui bahwa ia
menarik nafas pendek, dan mengembuskan nafas pendek, ia mengetahui bahwa ia
mengembuskan nafas pendek. Ia melatih dirinya, berpikir: “Aku akan menarik
nafas, menyadari seluruh jasmani.” Ia melatih dirinya, berpikir: “Aku akan mengembuskan
nafas, menyadari seluruh jasmani.” Ia melatih dirinya, berpikir: “Aku akan
menarik nafas, menenangkan seluruh proses jasmani.” Ia melatih dirinya, berpikir: “Aku akan mengembuskan
nafas, menenangkan seluruh proses jasmani.” Bagaikan seorang akrobatik terampil
atau pembantunya, dalam melakukan putaran panjang, tahu bahwa ia melakukan
putaran panjang, atau dalam melakukan putaran pendek, tahu bahwa ia melakukan
putaran pendek, demikian pula seorang bhikkhu, dalam menarik nafas panjang, tahu
bahwa ia menarik nafas panjang, ... dan demikianlah ia melatih dirinya,
berpikir: “Aku akan mengembuskan nafas, menenangkan seluruh jasmani.”’
(PANDANGAN
TERANG)
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, merenungkan jasmani sebagai jasmani
secara eksternal, merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan
eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena di dalam jasmani. Ia berdiam merenungkan lenyapnya
fenomena di dalam jasmani. Ia
berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena di dalam jasmani. Atau, penuh
perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan
bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan
ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu,
para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani
sebagai jasmani.’
2. Empat postur
3.
‘Kemudian, seorang bhikkhu, ketika sedang berjalan, mengetahui bahwa ia sedang
berjalan, ketika sedang berdiri, mengetahui bahwa ia sedang berdiri, ketika
sedang duduk, mengetahui bahwa ia sedang duduk, ketika sedang berbaring,
mengetahui bahwa ia sedang berbaring. Dalam cara bagaimanapun jasmaninya
diposisikan, ia mengetahui sebagaimana adanya.’
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara
eksternal, dan secara internal maupun eksternal .... Dan ia berdiam tanpa
bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu,
adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’
3. Kesadaran jernih
4.
‘Kemudian, seorang bhikkhu, ketika berjalan maju atau mundur, sadar jernih atas
apa yang sedang ia lakukan,[23] dalam melihat ke depan atau ke belakang, ia sadar
jernih atas apa yang sedang ia lakukan, dalam menunduk dan menegakkan badan, ia
sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan, dalam membawa jubah dalam dan
luarnya dan mangkuknya, ia sadar atas apa yang sedang ia lakukan, dalam makan,
minum, mengunyah, dan menelan, ia sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan,
dalam buang air besar atau buang air kecil, ia sadar jernih atas apa yang
sedang ia lakukan, dalam berjalan, berdiri, duduk, tertidur, dan bangun dari
tidur, dalam berbicara atau berdiam diri, ia sadar jernih atas apa yang sedang
ia lakukan.’ [293]
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara
eksternal, dan secara internal maupun eksternal .... Dan ia berdiam tanpa
bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu,
adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’
4. Perenungan menjijikkan: Bagian-bagian tubuh
5.
‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa[24] jasmani ini dari telapak kaki ke atas dan dari kulit
kepala ke bawah, terbungkus oleh kulit dan dipenuhi kotoran: “Di dalam jasmani
ini terdapat rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit,[25] daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati,
sekat rongga dada, limpa, paru-paru, selaput pengikat organ dalam, usus besar,
perut, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak,
ludah, ingus, cairan sendi, air seni.”[26] Bagaikan ada sebuah karung, yang terbuka di kedua
ujungnya, penuh dengan berbagai jenis biji-bijian seperti beras-gunung, padi,
kacang hijau,[27] kacang merah, wijen, beras merah, dan seorang yang
berpenglihatan baik membuka karung itu dan memeriksanya, dapat mengatakan: ”Ini
adalah beras-gunung, padi, kacang hijau, kacang merah, wijen, beras merah,”
demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini: “Di dalam jasmani ini
terdapat rambut kepala ... [294] air seni.”’
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara
eksternal, dan secara internal maupun eksternal .... Dan ia berdiam tanpa
bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu,
adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’
5. Empat Unsur
6.
‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini, bagaimanapun posisinya, dalam
hal unsur-unsur: “Terdapat dalam jasmani ini, unsur tanah, unsur-air,
unsur-api, unsur-angin.”[28] Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau
pembantunya, setelah menyembelih seekor sapi,[29] duduk di persimpangan jalan dengan daging yang telah
dibagi dalam beberapa bagian, demikianlah seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini
... dalam hal unsur-unsur: “Terdapat dalam jasmani ini, unsur tanah, unsur-air,
unsur-api, unsur-angin.”’
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal .... [295] Dan
ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu,
para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani
sebagai jasmani.’
6. Sembilan perenungan tanah pekuburan
7.
‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah
pekuburan,[30] satu, dua, atau tiga hari setelah meninggal dunia,
membengkak, berubah warna, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu,
berpikir: “Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi
seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.”’
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara
eksternal, dan secara internal maupun eksternal. Dan ia berdiam tanpa
bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu,
adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’
8.
‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan,
dibuang, dimakan oleh burung gagak, elang atau nasar, oleh anjing atau
serigala, atau berbagai binatang lainnya, membandingkan jasmani ini dengan
mayat itu, berpikir: “Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan
menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.”’ [296]
9.
‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan,
dibuang, kerangka tulang-belulang dengan daging dan darah, dirangkai oleh urat,
... kerangka tulang-belulang tanpa daging berlumuran darah, dirangkai oleh
urat, ... kerangka tulang-belulang yang tanpa daging dan darah, dirangkai oleh
urat, ... tulang-belulang yang tersambung secara acak, berserakan di segala
penjuru, tulang lengan di sini, tulang-kaki di sana, tulang-kering di sini,
tulang-paha di sana, tulang-panggul di sini, [297] tulang-punggung di sini,
tulang-tengkorak di sana, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu ....’
10.
‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan,
dibuang, tulangnya memutih, terlihat seperti kulit-kerang ..., tulang-belulangnya
menumpuk, setelah setahun ..., tulang-belulangnya hancur menjadi bubuk,
membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: “Jasmani ini memiliki
sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak
terbebas dari takdir itu.”’
(PANDANGAN
TERANG)
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, merenungkan
jasmani sebagai jasmani secara eksternal, berdiam merenungkan jasmani sebagai
jasmani secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya
fenomena dalam jasmani, merenungkan lenyapnya fenomena dalam jasmani, ia
berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena dalam jasmani. Atau, penuh
perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan
bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat
pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang
bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’
PERENUNGAN PERASAAN
11.
‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan
sebagai perasaan?[31] Di sini, seorang bhikkhu yang sedang merasakan
perasaan menyenangkan mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan
menyenangkan;[32] merasakan perasaan menyakitkan, ia mengetahui bahwa ia
sedang merasakan perasaan menyakitkan;[33] merasakan perasaan yang-bukan-menyenangkan
juga-bukan-menyakitkan, ia mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan
yang-bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan;[34] merasakan perasaan indria yang menyenangkan, ia
mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan indria yang menyenangkan;[35] merasakan perasaan non-indria yang menyenangkan, ia
mengetahui bahwa ia merasakan perasaan non-indria yang menyenangkan;[36] merasakan perasaan indria yang menyakitkan ...;
merasakan perasaan non-indria yang menyakitkan ...; merasakan perasaan indria
yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan ...; merasakan perasaan
non-indria yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, ia mengetahui bahwa
ia sedang merasakan perasaan non-indria yang bukan menyakitkan juga bukan
menyenangkan.’
(PANDANGAN
TERANG)
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal. Ia
merenungkan perasaan sebagai perasaan secara eksternal[37] .... Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam
perasaan, lenyapnya fenomena, serta muncul dan lenyapnya fenomena dalam
perasaan. [299] Atau, penuh perhatian bahwa “ada perasaan” muncul dalam dirinya
hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam
tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para
bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan sebagai
perasaan.’
PERENUNGAN PIKIRAN
12.
‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran
sebagai pikiran?[38] Di sini, seorang bhikkhu mengetahui pikiran penuh
nafsu sebagai penuh nafsu, pikiran yang bebas dari nafsu sebagai bebas dari
nafsu; pikiran membenci sebagai membenci, pikiran yang bebas dari kebencian
sebagai bebas dari kebencian; pikiran yang menipu sebagai menipu, pikiran yang
tidak menipu sebagai tidak menipu; pikiran mengerut sebagai mengerut,[39] pikiran kacau sebagai pikiran kacau,[40] pikiran terkembang sebagai terkembang,[41] pikiran yang tidak terkembang sebagai tidak
terkembang;[42] pikiran yang terlampaui sebagai terlampaui,[43] pikiran tidak terlampaui sebagai tidak terlampaui;[44] pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi,[45] pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak
terkonsentrasi;[46] pikiran terbebas sebagai terbebas,[47] pikiran tidak terbebas sebagai tidak terbebas.’
(PANDANGAN
TERANG)
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal. Ia merenungkan
pikiran sebagai pikiran secara eksternal[48] .... Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam
pikiran .... Atau, penuh perhatian bahwa “ada pikiran” muncul dalam dirinya
[300] hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia
berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para
bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran sebagai
pikiran.’
PERENUNGAN OBJEK-OBJEK PIKIRAN
13.
‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan
objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran?’[49]
1. Lima Rintangan
‘Di
sini, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai
objek-objek pikiran sehubungan dengan lima rintangan. Bagaimanakah ia
melakukannya? Di sini, para bhikkhu, jika keinginan-indria[50] hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa
keinginan-indria hadir. Jika keinginan-indria tidak ada dalam dirinya, seorang
bhikkhu mengetahui bahwa keinginan-indria tidak ada. Dan ia mengetahui
bagaimana keinginan-indria yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui
bagaimana menyingkirkan keinginan-indria yang telah muncul, dan ia mengetahui
bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari keinginan-indria yang telah
disingkirkan.[51]’ ‘Jika
kebencian[52] hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa
kebencian hadir .... Dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan di masa depan
dari kebencian.’
‘Jika
ketumpulan dan kelambanan[53] hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa
ketumpulan dan kelambanan hadir .... Dan ia mengetahui bagaimana
ketidakmunculan di masa depan dari ketumpulan dan kelambanan.’
‘Jika
kekhawatiran dan kegelisahan[54] hadir dalam dirinya, seorang [301] bhikkhu mengetahui
bahwa kekhawatiran dan kegelisahan hadir .... Dan ia mengetahui bagaimana
ketidakmunculan di masa depan dari kekhawatiran dan kegelisahan.’
‘Jika
keragu-raguan[55] hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa
keragu-raguan hadir. Jika keragu-raguan tidak ada dalam dirinya, ia mengetahui
bahwa keragu-raguan tidak ada. Dan ia mengetahui bagaimana keragu-raguan yang
belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana menyingkirkan
keragu-raguan yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan di
masa depan dari keragu-raguan yang telah disingkirkan.’
(PANDANGAN
TERANG)
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara
internal .... Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam objek-objek
pikiran[56] .... Atau, penuh perhatian bahwa “ada objek-objek
pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan
kesadaran. Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apa pun di dunia
ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam
merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan
lima rintangan.’
2. Lima gugus
14.
‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek
pikiran sehubungan dengan lima gugus kemelekatan.[57]Bagaimanakah
ia melakukannya? Di sini, seorang bhikkhu berpikir: “Demikianlah bentuk,[58] demikianlah munculnya bentuk, demikianlah lenyapnya
bentuk; demikianlah perasaan, demikianlah munculnya perasaan, demikianlah
lenyapnya perasaan; demikianlah persepsi,[59]demikianlah
munculnya persepsi, demikianlah lenyapnya persepsi; demikianlah
bentukan-bentukan batin,[60] [302] demikianlah munculnya bentukan-bentukan batin,
demikianlah lenyapnya bentukan-bentukan batin; demikianlah kesadaran,[61] demikianlah munculnya kesadaran, demikianlah lenyapnya
kesadaraan.’
(PANDANGAN
TERANG)
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara
internal .... Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apa pun di dunia
ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam
merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan
lima gugus kemelekatan.’
3. Enam Landasan Indria Internal dan Eksternal
15.
‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek
pikiran sehubungan dengan enam landasan-indria internal dan eksternal.[62] Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, seorang bhikkhu
mengetahui mata, mengetahui objek-objek penglihatan,[63] dan ia mengetahui belenggu apa pun yang muncul bergantung
pada kedua hal ini.[64] Dan ia mengetahui bagaimana belenggu yang belum muncul
itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana melepaskan belenggu yang telah muncul,
dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan belenggu yang telah dilepaskan itu
akan muncul di masa depan. Ia mengetahui telinga dan suara-suara .... Ia
mengetahui hidung dan bau-bauan .... Ia mengetahui badan[65] dan objek-objek sentuhan .... Ia mengetahui pikiran
dan mengetahui objek-objek pikiran, dan ia mengetahui [303] belenggu apa pun
yang muncul bergantung pada kedua hal ini. Dan ia mengetahui bagaimana belenggu
yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana melepaskan belenggu
yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan belenggu yang
telah dilepaskan itu akan muncul di masa depan.’
(PANDANGAN
TERANG)
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara
internal .... Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apa pun di dunia
ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam
merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan
enam landasan indria internal dan eksternal.’
4. Tujuh Faktor Penerangan Sempurna
16.
‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek
pikiran sehubungan dengan tujuh faktor penerangan sempurna.[66] Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, para bhikkhu,
jika faktor penerangan sempurna perhatian hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu
mengetahui kehadirannya. Jika faktor penerangan sempurna perhatian tidak hadir
dalam dirinya, ia mengetahui ketidakhadirannya. Dan ia mengetahui bagaimana
faktor penerangan sempurna perhatian yang belum muncul itu muncul, dan ia
mengetahui bagaimana kesempurnaan dari pengembangan faktor penerangan sempurna
perhatian itu muncul. Jika faktor penerangan sempurna penyelidikan
kondisi-kondisi[67] hadir dalam dirinya .... Jika faktor penerangan
sempurna usaha[68] hadir dalam dirinya .... Jika faktor penerangan
sempurna kegembiraan[69] hadir dalam dirinya .... [304] Jika faktor penerangan
sempurna ketenanga[70] hadir dalam dirinya .... Jika faktor penerangan
sempurna konsentrasi hadir dalam dirinya .... jika faktor penerangan sempurna
keseimbangan hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui kehadirannya. Jika
faktor penerangan sempurna keseimbangan tidak hadir dalam dirinya, ia
mengetahui ketidakhadirannya. Dan ia mengetahui bagaimana faktor penerangan
sempurna keseimbangan yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana
kesempurnaan dari pengembangan faktor penerangan sempurna keseimbangan itu
muncul.’
(PANDANGAN
TERANG)
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara
internal .... Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apa pun di dunia
ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam
merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan
tujuh faktor penerangan sempurna.’
5. Empat Kebenaran Mulia
17.
‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek
pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia. Bagaimanakah ia melakukannya?
Di sini, seorang bhikkhu mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah
penderitaan”; ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah asal-mula
penderitaan”; ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah lenyapnya
penderitaan”; ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah jalan menuju
lenyapnya penderitaan.”’
18. [71]’Dan
apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Penderitaan? Kelahiran adalah
penderitaan, usia-tua adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan, dukacita
adalah penderitaan, ratapan adalah penderitaan, kesakitan adalah penderitaan,
kesedihan dan kesusahan adalah penderitaan. Berkumpul dengan yang tidak
dicintai adalah penderitaan, berpisah dari yang dicintai adalah penderitaan,
tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, lima
gugus kemelekatan[72] adalah penderitaan.’ ‘Dan apakah, para bhikkhu,
kelahiran? Makhluk apa pun juga, kelompok makhluk apa pun juga, ada kelahiran,
akan datang, kedatangan, kemunculan gugus-gugus, mendapatkan enam landasan.[73] Itu, para bhikkhu, adalah yang disebut kelahiran.’
‘Dan
apakah usia-tua? Makhluk apa pun juga, kelompok makhluk apa pun juga, mengalami
usia-tua, jompo, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, mengerut seiring
usia, indria-indria melemah, itu, para bhikkhu, disebut usia-tua.’
‘Dan
apakah kematian? Makhluk apa pun juga, kelompok makhluk apa pun juga, ada,
mengalami kematian, musnah, terputus, lenyap, meninggal dunia, sekarat,
berakhir, terputusnya gugus-gugus, lepasnya jasmani, itu, para bhikkhu, disebut
kematian.’
‘Dan
apakah dukacita? Ketika, karena kemalangan apa pun juga, [306] seseorang
terpengaruh oleh sesuatu yang bersifat menyakitkan, berduka, berkabung,
bersusah hati, kesedihan di dalam, kesengsaraan di dalam, itu, para bhikkhu,
disebut dukacita.’
‘Dan
apakah ratapan? Ketika, karena kemalangan apa pun juga, seseorang terpengaruh
oleh sesuatu yang bersifat menyakitkan dan menjadi menangis, mengeluh, meraung
karena sedih, meratap, itu, para bhikkhu, disebut ratapan.’
‘Dan
apakah kesakitan? Perasaan sakit apa pun pada jasmani, perasaan tidak
menyenangkan pada jasmani, perasaan sakit atau tidak menyenangkan yang muncul
dari kontak jasmani, itu, para bhikkhu, disebut kesakitan.’
‘Dan
apakah kesedihan?[74] Perasaan sakit apa pun pada batin, perasaan tidak
menyenangkan pada batin, perasaan sakit atau tidak menyenangkan yang muncul
dari kontak batin, itu, para bhikkhu, disebut kesedihan.’
‘Dan
apakah kesusahan? Ketika, karena kemalangan apa pun juga, seseorang terpengaruh
oleh sesuatu yang bersifat menyakitkan, bersusah hati, kesusahan besar, didera
oleh kesusahan, oleh kesusahan besar, itu, para bhikkhu, disebut kesusahan.[75]’
‘Dan
apakah, para bhikkhu, berkumpul dengan yang tidak dicintai? Di sini, siapa pun
yang tidak diinginkan, tidak disukai, objek-penglihatan, bau-bauan,
rasa-kecapan, objek-sentuhan atau objek-pikiran yang tidak menyenangkan, atau
siapa pun yang bertemu dengan orang yang mengharapkan kemalangannya, orang yang
mengharapkan kecelakaannya, ketidaknyamanannya, ketidakamanannya, yang dengan
mereka ia berkumpul, bergaul, berhubungan, bergabung, itu, para bhikkhu,
disebut berkumpul dengan yang tidak dicintai.’
‘Dan
apakah, para bhikkhu, berpisah dengan yang dicintai? Di sini, siapa pun yang
diinginkan, disukai, objek-penglihatan, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-sentuhan
atau objek-pikiran yang menyenangkan, atau siapa pun yang bertemu dengan orang
yang mengharapkan kesejahteraannya, orang yang mengharapkan kebaikannya,
kenyamanannya, keamanannya, ibu atau ayah atau saudara laki-laki atau perempuan
atau sanak saudara atau sahabat atau kerabat-sedarah, dan kemudian direnggut
dari kebersamaan, pergaulan, hubungan, gabungan demikian, itu, para bhikkhu,
disebut berpisah dari yang dicintai.’ [307]
‘Dan
apakah tidak mendapatkan apa yang diinginkan? Dalam diri makhluk-makhluk yang
mengalami kelahiran, para bhikkhu, keinginan ini muncul: “Oh, seandainya kita
tidak mengalami kelahiran, seandainya kita tidak dilahirkan!” Tetapi hal ini
tidak mungkin dicapai hanya dengan menginginkan. Ini adalah tidak mendapatkan
apa yang diinginkan. Dalam diri makhluk-makhluk yang mengalami usia-tua,
penyakit,[76]dukacita,
ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesusahan muncul keinginan ini: “Oh,
seandainya kita tidak mengalami usia-tua, ..., kesusahan, seandainya kita tidak
bertemu dengan hal-hal ini!” Tetapi hal-hal ini tidak mungkin dicapai hanya
dengan menginginkan. Ini adalah tidak mendapatkan apa yang diinginkan.’ ‘Dan
bagaimanakah, para bhikkhu, singkatnya, lima gugus kemelekatan adalah penderitaan?
Yaitu sebagai berikut: gugus kemelekatan bentuk, gugus kemelekatan perasaan,
gugus kemelekatan persepsi, gugus kemelekatan bentukan-bentukan batin, gugus
kemelekatan kesadaran.[77] Ini adalah, singkatnya, lima gugus kemelekatan adalah
penderitaan. Dan itu, para bhikkhu, disebut Kebenaran Mulia Penderitaan.’ [308]
19.
‘Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Asal-mula Penderitaan? Yaitu,
keinginan[78] yang memunculkan kelahiran,[79] yang bergabung dengan kesenangan dan nafsu, mencari
kenikmatan baru di sana-sini: dengan kata lain keinginan-indria, keinginan akan
penjelmaan, dan keinginan akan pemusnahan.[80]’
‘Dan di
manakah keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya? Di mana pun di dunia ini
terdapat hal-hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, di sana keinginan ini
muncul dan mengukuhkan dirinya.’
‘Dan
apakah di dunia ini, hal-hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati? Mata di
dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, telinga ..., hidung
..., lidah ..., badan ..., pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan
dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek
sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan
dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Kesadaran-mata,
kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan,
kesadaran-pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat
dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Kontak-mata,[81] kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah,
kontak-badan, kontak-pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan
dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Perasaan yang muncul dari kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung,
kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran di dunia ini adalah hal yang
menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan
dirinya.
Persepsi
penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan,
objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat
dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Kehendak
sehubungan dengan penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan,
objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang
menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan
mengukuhkan dirinya.
Keinginan
akan pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek
sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan
dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Awal-pikiran[82] yang tertuju pada pemandangan-pemandangan,
suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran
di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana
keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Kelangsungan-pikiran[83] yang tertuju pada pemandangan-pemandangan,
suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran
di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana
keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.’
20.
‘Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Lenyapnya Penderitaan? Yaitu
peluruhan total dan padamnya keinginan ini, melepaskan dan meninggalkan,
kebebasan darinya, terlepas darinya.[84] Dan bagaimanakah keinginan ini ditinggalkan,
bagamanakah lenyapnya ini muncul?’ ‘Di mana pun di dunia ini terdapat hal-hal
yang menyenangkan dan dapat dinikmati, di sana lenyapnya ini muncul. Dan apakah
di dunia ini, hal-hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati?’
‘Mata
di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, telinga ...,
hidung ..., lidah ..., badan ..., pikiran di dunia ini adalah hal yang
menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah keinginan ditinggalkan, di
sanalah lenyapnya muncul. Kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung,
kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran di dunia ini adalah hal
yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah keinginan ditinggalkan,
di sanalah lenyapnya muncul.
Pemandangan-pemandangan,
suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran
di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah
keinginan ditinggalkan, di sanalah lenyapnya muncul.
Kontak-mata,
kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran ...;
[311] Persepsi penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek
sentuhan, objek-objek pikiran ...; kehendak sehubungan dengan penglihatan,
suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran
...; Keinginan akan pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan,
rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran ...; Awal-pikiran yang
tertuju pada pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan,
objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran ...; Kelangsungan-pikiran yang
tertuju pada pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan,
objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang
menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah keinginan ditinggalkan, di
sanalah lenyapnya muncul. Dan itu, para bhikkhu, disebut Lenyapnya
Penderitaan.’
21.
‘Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Jalan Praktik Menuju Lenyapnya
Penderitaan? Yaitu, Jalan Mulia berfaktor Delapan, yaitu: Pandangan Benar,
Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar,
Perhatian Benar, Konsentrasi Benar.’
‘Dan
apakah, para bhikkhu, Pandangan Benar?[85] [312] yaitu, para bhikkhu, pengetahuan tentang
penderitaan, pengetahuan tentang asal-mula penderitaan, pengetahuan tentang
lenyapnya penderitaan, dan pengetahuan tentang praktik menuju lenyapnya
penderitaan. Ini disebut Pandangan Benar.’
‘Dan
apakah, para bhikkhu, Pikiran Benar? Pikiran meninggalkan keduniawian, pikiran
ketidakbencian, pikiran ketidakkejaman. Ini, para bhikkhu, disebut Pikiran
Benar.’
‘Dan
apakah, para bhikkhu, Ucapan Benar? Menghindari berbohong, menghindari fitnah,
menghindari ucapan kasar, menghindari kata-kata yang tidak berguna. Ini disebut
Ucapan Benar.’
‘Dan
apakah, para bhikkhu, Perbuatan Benar? Menghindari pembunuhan, menghindari
mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang
salah. Ini disebut Perbuatan Benar.’
‘Dan
apakah, para bhikkhu, Penghidupan Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang Siswa
Ariya, setelah meninggalkan penghidupan salah, mempertahankan hidupnya dengan
Penghidupan Benar.’
‘Dan
apakah, para bhikkhu, Usaha Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu
membangkitkan kehendak, mengerahkan daya upaya, menggerakkan usaha, mengerahkan
pikirannya dan berusaha untuk mencegah munculnya kondisi batin buruk yang belum
muncul. Ia membangkitkan kehendak ... dan berusaha untuk mengatasi kondisi batin
buruk yang telah muncul. Ia membangkitkan kehendak ... dan berusaha untuk
memunculkan kondisi batin baik yang belum muncul. Ia membangkitkan kehendak,
mengerahkan daya upaya, menggerakkan usaha, mengerahkan pikirannya dan berusaha
untuk mempertahankan kondisi batin baik yang telah muncul, tidak membiarkannya
memudar, menumbuhkan lebih besar, hingga sempurna dalam pengembangan. Ini
disebut Usaha Benar.’
‘Dan
apakah, para bhikkhu, Perhatian Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu
berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, sadar jernih dan penuh
perhatian, setelah menyingkirkan segala keserakahan dan cengkeraman terhadap
dunia; ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan ...; ia berdiam
merenungkan pikiran sebagai pikiran ...; ia berdiam merenungkan objek-objek
pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, sadar jernih dan penuh perhatian,
setelah menyingkirkan segala keserakahan dan cengkeraman terhadap dunia. Ini
disebut Perhatian Benar.’
‘Dan
apakah, para bhikkhu, Konsentrasi Benar? Di sini, seorang bhikkhu, terlepas
dari keinginan-indria, terlepas dari kondisi batin yang buruk, memasuki dan
berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal-pikiran dan
kelangsungan-pikiran yang muncul dari pelepasan, dipenuhi dengan kegirangan dan
kegembiraan. Dan dengan melenyapkan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran,
dengan mencapai ketenangan di dalam dan keterpusatan pikiran, ia memasuki dan
berdiam dalam jhāna ke dua, yang tanpa awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran,
yang muncul dari konsentrasi, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan
dengan meluruhnya kegirangan, tetap tidak terganggu, penuh perhatian dan sadar
jernih, ia mengalami dalam dirinya apa yang dikatakan oleh Para Mulia:
“Bahagialah ia yang berdiam dalam keseimbangan dan perhatian,” ia memasuki
jhāna ke tiga. Dan, setelah meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan
lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, ia memasuki dan berdiam dalam
jhāna ke empat, yang melampaui kenikmatan dan kesakitan, dan dimurnikan oleh
keseimbangan dan perhatian. Ini disebut Konsentrasi Benar. Dan itu, para
bhikkhu, disebut jalan praktik menuju lenyapnya penderitaan.’
(PANDANGAN
TERANG)
‘Demikianlah
ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara
internal, [314] merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran
secara eksternal, berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek
pikiran secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya
fenomena dalam objek-objek pikiran, merenungkan lenyapnya fenomena dalam
objek-objek pikiran, ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena dalam
objek-objek pikiran. Atau, penuh perhatian bahwa “ada objek-objek pikiran”
muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran.
Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan
itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan
objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat
Kebenaran Mulia.’
KESIMPULAN
22.
‘Siapa pun, para bhikkhu, yang mempraktikkan Empat Landasan Perhatian ini
selama tujuh tahun dapat mengharapkan satu dari dua hasil ini: mencapai
kesucian Arahant dalam kehidupan ini atau, jika masih ada beberapa kekotoran
tersisa, mencapai kondisi Yang-Tidak-Kembali. Jangankan tujuh tahun – siapa pun
yang mempraktikkannya selama enam tahun ..., lima tahun ..., empat tahun ...,
tiga tahun ..., dua tahun ..., satu tahun dapat mengharapkan satu dari dua
hasil ...; jangankan satu tahun-siapa pun yang mempraktikkannya selama tujuh
bulan ..., enam bulan ..., lima bulan ..., empat bulan ..., tiga bulan ..., dua
bulan ..., [315] satu bulan ..., setengah bulan dapat mengharapkan satu dari
dua hasil ...; jangankan setengah bulan-siapa pun yang mempraktikkan Empat
Landasan Perhatian ini selama tujuh hari dapat mengharapkan satu dari dua hasil
ini: mencapai kesucian Arahant dalam kehidupan ini atau, jika masih ada
beberapa kekotoran tersisa, mencapai kondisi Yang-Tidak-Kembali.’
‘Dikatakan:
“Ada, para bhikkhu, satu jalan ini untuk memurnikan makhluk-makhluk, untuk
mengatasi dukacita dan kesusahan, untuk melenyapkan kesakitan dan kesedihan,
untuk memperoleh jalan yang benar untuk mencapai Nibbāna:-yaitu, empat landasan
perhatian” dan untuk alasan inilah, hal tersebut dikatakan.’
Demikianlah
khotbah Sang Bhagavā, dan para bhikkhu senang dan gembira mendengar kata-kata
Beliau.






0 komentar:
Posting Komentar